KPA Wilayah Sulawesi Selatan adalah sebuah NGO jaringan yang beranggotakan lembaga, Organisasi Rakyat (kelompok petani, nelayan, dan miskin kota), individu yang concern pada persoalan-persoalan issu-issu agraria
SIARAN PERS KPA WILAYAH SULAWESI SELATAN
PERNYATAAN SIKAP KONSORSIUM PEMBARUAN AGRARIA (KPA) MEMPERINGATI HARI TANI NASIONAL DAN ULANG TAHUN KE-47 UNDANG UNDANG POKOK AGRARIA (UUPA) PADA TANGGAL 24 SEPTEMBER 2007 REFORMA AGRARIA ADALAH AMANAH KONSTITUSI YANG TELAH DIINGKARI OLEH PEMERINTAH Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada peringatan Hari Tani Nasional dan hari ulang tahun ke-47 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) kembali menegaskan sikap politik dan ajakan kepada seluruh rakyat Indonesia, khususya petani, nelayan, masyarakat adat dan kaum miskin yang hidupnya terkait dengan tanah dan sumber daya alam untuk menuntut pemerintah RI untuk segera menjalankan reforma agraria sejati SEBAGAI amanah dari KONSTITUSI RI pada pasal 33 UUD 1945, juga perintah dari TAP MPR No.IX/2001 dan UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria. Sikap politik dan ajakan di atas, disandarkan kenyataan bahwa nasib petani dan rakyat Indonesia pada umumnya tidak banyak berubah. Realitas kemiskinan menunjukkan bahwa kurang lebih 40 persen penduduk Indonesia miskin hidup dipedesaan dan bekerja sebagai petani. Semakin banyak petani yang tidak memiliki akses terhadap tanah, kepemilikan tanah guntai (absentee) semakin meluas, lahan-lahan pertanian semakin banyak berubah fungsi, dan Indonesia telah berubah menjadi negara pengimpor pangan terbesar di dunia. Di sisi lain, apa yang menimpa kalangan masyarakat adat Indonesia juga tidak kalah hebatnya. Banyak di antara mereka yang tersingkir akibat program transmigrasi yang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia, maupun akibat eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan antara lain dalam bentuk pemberian Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Kontrak Karya Pertambangan, yang semuanya berasal dari tidak adanya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat atas sumber-sumber agraria. Sebagai konsekuensi langsung dari semua ini adalah semakin senjangnya ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria (tanah dan sumber daya alam yang lain), maraknya konflik-konflik agraria yang disertai dengan pelanggaran hak asasi manusia yang luar biasa, dan kerusakan lingkungan yang pada titik puncaknya yakni terjadinya bencana ekologis dimana-mana yang semakin menyengsarakan rakyat Indonesia. Dan pada gilirannya, yang kita saksikan di pedesaan Indonesia adalah kemiskinan dan kemelaratan yang tak tertahankan, yang membuat sebagian besar masyarakat pedesaan (termasuk keluarga-keluarga petani dan sebagian masyarakat adat) melakukan eksodus menuju kota-kota untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Eksodus ini bahkan juga mencapai wilayah-wilayah luar Indonesia, di mana mereka menjadi buruh (tenaga kerja) murah di perkebunan-perkebunan, buruh-buruh konstruksi dan infrastruktur kota, dan buruh-buruh rumah tangga. Karena itulah, suatu kebijakan politik yang berpihak kepada kepentingan petani kecil, buruh tani dan buruh perkebunan, kaum mskin kota serta suatu kebijakan politik yang mengakui hak-hak masyarakat adat atas sumber-sumber agraria adalah kemutlakan dan keniscayaan bagi negara agraris semacam Indonesia. Hanya dengan kebijakan semacam itulah jaminan bagi penguasaan dan pemilikan atas tanah dan sumber daya alam lain, dengan begitu jaminan atas makanan dan pekerjaan menjadi mungkin. Kebijakan politik agraria seperti itulah yang biasanya dikenal sebagai REFORMA AGRARIA. REFORMA AGRARIA yang dimaksud hendaknya dimengerti sebagai “upaya-upaya yang dilakukan oleh negara dan masyarakat dalam merubah hubungan-hubungan sosial agraria dan bentuk-bentuk penguasaan tanah dan sumber daya alam ke arah keadilan dan pemerataan, melalui mekanisme dan sistem politik yang demokratis dan terbuka, bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat". Pengertian Reforma Agraria seperti di atas mempunyai arti yang lebih luas dari sekedar program redistribusi tanah dan sertifikasi sebagaimana yang dipidatokan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 31 Januari 2007 lalu. Makna Reforma Agraria di atas juga untuk mengingatkan bahwa tindakan-tindakan sektoralisme dan insedentil pemerintah dalam menunaikan kewajibannya terkait dengan pengaturan tanah dan sumber daya alam, seperti pembangunan perkebunan besar pola PIR, Hutan Tanaman Industri, Hutan Tanaman Rakyat, Transmigrasi, Corporate farming, dsb. bukanlah bagian dari REFORMA AGRARIA SEJATI. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) melalui momentum Peringatan Hari Tani Nasional sekaligus Ulang Tahun ke-47 UUPA tahun ini yang jatuh pada tanggal 24 September 2007 menuntut kepada Pemerintah Indonesia saat ini untuk sungguh-sungguh menjalankan mandat yang telah diberikan oleh UUPA No. 5/1960 dan Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, untuk menjalankan program Pembaruan Agraria, menyelesaikan konflik-konflik agraria, dan menghentikan kekerasan terhadap kaum tani dan masyarakat adat di seluruh Indonesia. Degan demikian, Konsorsium Pembaruan Agraria menyatakan sikap sebagai berikut : 1. Mendesak kepada pemerintah SBY-JK untuk menepati janjinya untuk menjalankan reforma agraria. 2. Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang telah menjadi keputusan politik rezim sekarang dan saat ini menjadi pembahasan dalam Pemerintah SBY-JK, hendaknya melibatkan organisasi rakyat dalam hal ; 1) Penentuan objek dan subjek reforma agraria, 2) Kelembagaan reforma agraria. Konsorsium Pembaruan Agraria juga memadang bahwa PPAN ini hendaknya menjadi bagian dari penyelesaian konflik agraria yang sampai saat ini belum terselesaikan. 3. Maraknya konflik dan sengketa agraria yang diikuti dengan kekerasan bahkan pembunuhan terhadap petani hendaknya menjadi perhatian serius pemerintah untuk diselesaikan melalui suatu kelembagaan nasional yang secara khusus bertugas menyelesaikan konflik agraria. 4. Meminta kepada pemerintah untuk melegalisasi tanah-tanah yang sudah direbut dan digarap kaum tani selama ini. Pengakuan secara hukum atas tanah-tanah yang sudah diduduki dan digarap kembali oleh kaum tani sangat penting sebagai jaminan pengakuan hak kaum tani atas tanahnya. Legalisasi tersebut haruslah berdasarkan dan sesuai dengan model-model pembaruan agraria yang sesuai dengan diinisiatifi rakyat. 5. Menolak segala bentuk intervensi terhadap kedaulatan ekonomi dan politik bangsa Indonesia oleh negara-negara, perusahaan-perusahaan imperialis dan lembaga-lembaga dunia seperti Bank Dunia, IMF, CGI, dan WTO yang jelas-jelas telah merugikan rakyat Indonesia. 6. Kembalikan segera tanah-tanah rakyat yang diambil paksa oleh perusahaan-perusahaan besar yang menggunakan militer sebagai alat pemaksa pengambilalihan tanah rakyat. Jakarta, 24 September 2007 Konsorsium Pembaruan Agraria(KPA) Usep Setiawan (Sekretaris Jenderal) Untuk info lebih lanjut, hububungi: Idham Arsyad (Koordinator Bidang Kampanye), HP: 08152542914, E-mail: bhotghel@yahoo.comThis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar