PRESIDIUM KPA WILAYAH SULAWESI SELATAN

makassar, sulawesi selatan, Indonesia
PRESIDIUM KPA WILAYAH SULAWESI SELATAN : 1. KARIM 2. ASMAR EXWAR 3. ZULKARNAIN 4. A.SUDIRMAN

Senin, 26 November 2007

29 Agustus 2007

Latar Belakang Kajian dan Penyusunan Kebijakan Pertanahan Pendekatan

Jl. Latuharhari No. 9

Menteng, Jakarta 10310

Telp: (021) 310 1885-7

Fax: (021) 390 2983

Email: lmpdp@cbn.net.id

Rabu, 29 Agustus 2007 09:34:31

Sekilas Membincangkan Program Pembaruan Agraria Nasional

Oleh Iwan Nurdin*)

Pendahuluan

Sebagai sebuah negara dengan potensi agraria yang teramat besar, semestinya hanya panorama keindahanlah yang dapat dapat diceritakan pada alam dan manusia Indonesia di lapangan agraria. Namun, keadaan yang demikian tidak terjadi. Sebab, sampai sekarang, kemiskinan dan pengangguran di Indonesia utamanya adalah sumbangan dari masyarakat pertanian dan pedesaan.

Secara singkat, keadaan ini disebabkan oleh kekeliruan pembangunan selama ini yang tidak menempatkan pembaruan agraria (land reform dan acces reform) sebagai fondasi awal dari proses pembangunan. Meski pada masa awal pembangunan era Soekarno, pembaruan agraria sempat menjadi agenda bangsa, namun telah kita ketahui bersama bahwa program pembaruan agraria akhirnya dipeti-eskan sebelum berhasil dijalankan sepenuhnya pada saat orde baru berkuasa.

Kebijakan pembangunan ekonomi Orba sedikitnya telah menambah persoalan dalam bidang pertanahan. Pertama, di sektor pertanian. Kebijakan pertanahan tidak didasarkan atas penataan aset produksi tetapi langsung diarahkan kepada upaya peningkatan produktivitas melalui revolusi hijau. Hal ini menyebabkan meningkatnya jumlah petani tuna wisma dan mendorong percepatan guremisasi petani. Kedua, pada saat banyak petani kehilangan akses pada tanah, berlangsung pula kebijakan pengalokasian tanah dalam skala besar kepada industri perkebunan dan industri kehutanan. Ketiga, pembangunan industri dan perluasan kota juga telah menimbulkan konversi besar-besaran lahan pertanian, apalagi belum ditaatinya tata ruang dan penataan tanah sebagai acuan pemanfaatan dan penggunaan tanah. Kelima, tumbuhnya kecenderungan menempatkan persoalan tanah dalam kerangka perburuan rente sehingga menjadi ajang permainan spekulasi.

Kelima persoalan ini telah mengakibatkan setidaknya dua hal. Pertama, kesemua proses di atas telah mendorong semakin tingginya kuantitas dan kualitas sengketa pertanahan di tanah air. Kedua, kesemua hal di atas telah mendorong semakin timpangnya pemilikan, penguasaan, dan pengelolaan sumber-sumber agraria khususnya tanah.

Sudah barang tentu, dengan berbagai komplikasi tambahan di atas semakin mengukuhkan argumentasi bahwa pembaruan agraria adalah sebuah agenda yang sangat mendesak untuk dijalankan bagi bangsa ini. Juga, merupakan tantangan bahwa mewujudkan pembaruan agraria pada masa kini tidak lebih mudah dibanding era sebelumnya.

Rezim Pasar Dalam Pembaruan Agraria.

Pasca ditetapkannya Tap. MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, diskursus dan aksi politik yang berelasi dengan isu pembaruan agraria semakin mendapat tempat dalam panggung politik Indonesia. Tapi, kecenderungan ini bukanlah gejala Indonesia semata. Karena, sebenarnya hampir di semua tempat di berbagai belahan dunia yang tengah mengalami proses integrasi kedalam rezim pasar bebas yang intensif, keadaan yang demikian ini selalu terjadi. Jadi, bisa dikatakan, ini adalah gejala internasional.

Jika merunut lebih ke belakang, bahkan sejak tahun 1975, Bank Dunia sebenarnya telah mengeluarkan sebuah dokumen penting yang berjudul Land Reform Policy Paper (LRPP). Dalam dokumen tersebut, Bank Dunia mengakui bahwa program Land Reform adalah sebuah jalan yang penting dalam menggerakkan perekenomian nasional sebuah negara dan dapat mendorong lebih cepat pertumbuhan ekonomi pedesaan.

Namun, mengacu pada situasi pasar politik dewasa itu, dokumen tersebut tidak dijalankan. Sebab, pada masa itu lembaga-lembaga semacam World Bank masih menaruh kepercayaan yang tinggi kepada keberhasilan revolusi hijau di bidang pertanian yang dianggap jauh lebih mudah dan aman secara politik. Di lain sisi, jurus penyesuaian ekonomi domestik kedalam sistem ekonomi pasar internasional (Structural Adjusment Programs-SAPs) dianggap lebih jitu dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

Dalam perkembangannya kemudian, kedua program tersebut justru secara nyata terbukti semakin meningkatkan ketergantungan petani kepada para industriawan benih, pupuk dan pestisida. Sementara lahan-lahan pertanian mereka semakin kurus akibat model pertanian semacam ini. Sedangkan, SAPs bisa dengan mudah dibuktikan kegagalannya di banyak tempat.

Bercermin pada dua kegagalan ini, isu tentang pembaruan agraria kembali mendapat tempat yang penting di era 90-an. Bahkan, pembaruan agraria selalu tidak dipisahkan dengan isu-isu pengentasan kemiskinan dunia.

Sistem kredit/hutang kepada para petani yang mendapatkan tanah berdasarkan sebuah pandangan bahwa tanah akan terdistribusi hanya kepada petani yang benar-benar bisa memproduktifkan tanahnya. Padahal, proses ini telah mendorong petani penggarap mendapatkan tanah-tanah dengan harga yang lebih mahal dan tidak/kurang subur. Bukankah akan selalu lebih banyak permintaan (demand) dibandingkan supply tanah. Juga, tanah-tanah yang subur kecil kemungkinan dilepaskan oleh para tuan tanah kepada para petani. Model ini juga juga membahayakan perekonomian nasional secara luas dan jangka panjang, sebab biaya pembelian tanah didapat oleh pemerintah melalui skema hutang dan hutang tersebut diperoleh dengan persyaratan membuka pasar pertanian.

Pembaruan agraria versi pasar juga didasarkan kesimpulan bahwa pembagian tanah kepada rumah tangga petani akan lebih menguntungkan ketimbang kepada serikat tani atau koperasi produksi serikat tani. Pandangan ini didasarkan bahwa pertanian besar yang selama ini dikelola negara dan komune produksi di negara-negara sosialis telah mengalami kegagalan dalam mencapai efisiensi produksi.

Pandangan inilah yang mengkhawatirkan dan sekaligus mendapat perlawanan banyak gerakan sosial dunia. Sebab, pembaruan agraria yang dijalankan adalah sebuah upaya sistematis dalam mengintegrasikan masyarakat pertanian dan pedesaan dalam rezim pasar bebas dalam hal produksi dan keuangan.

Proses pembaruan agraria yang dibimbing pasar ini sama sekali tidak ditujukan sebagai sebuah cara dalam mendorong transformasi sosial melalui lapangan agraria melalui pembentukan modal di pedesaan. Sehingga, pembaruan agraria model pasar sama sekali tidak menyentuh proses perencanaan pembangunan ekonomi desa kota yang saling menguatkan, menumbuhkan industri nasional yang kuat.

Program Pembaruan Agraria Nasional

Lalu, bagaimana dengan pembaruan agraria di Indonesia di tengah situasi nasional dan internasonal yang demikian ini? Kronik agraria mencatat bahwa pada tanggal 16 November 2005, pemerintah mencanangkan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK). Dalam program ini, pemerintah berencana mengalokasikan lahan abadi pertanian seluas 15 juta hektar untuk lahan kering dan 15 juta hektar untuk lahan pertanian basah (irigasi).

Kelanjutan dari program ini, pemerintah berencana melepaskan kawasan hutan seluas 8.15 juta hektar kepada masyarakat (Kompas, 13 Desember 2006). Rencana pemerintah dibingkai dalam sebuah Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Rencana pemerintah ini mendapat apresiasi positif dari berbagai kalangan masyarakat sipil yang memperjuangkan Pembaruan Agraria di Indonesia. Tentu dengan catatan kritis bahwa program ini bukanlah skema pembaruan agraria yang ditentukan oleh pasar.

Jika disejajarkan dengan masa lalu, rencana pemerintah ini tidak dapat dimaknai sebagai pembaruan agraria seperti kerap diucapkan oleh pemerintah. Sebab, pembaruan agraria bukanlah agenda pendistribusian tanah semata, meski ini adalah agenda utamanya. Juga, obyek pembaruan agraria tidak dapat ditentukan dan dibatasi secara sepihak oleh pemerintah (lahan hutan) tanpa melihat keadaan ketimpangan agraria di masing-masing tempat. Dengan demikian, pembaruan agraria mestilah bersifat keseluruhan, nasional dan serentak terhadap sumber-sumber agraria (bukan hanya hutan).

Dengan demikian, beberapa catatan penting yang harus menyertai program ini sehingga berhasil adalah:

Pertama, objek pembaruan agraria mestilah diperluas. Menyatakan hutan semata-mata sebagai objek adalah sikap menutup mata terhadap objek yang lain seperti tanah-tanah HGU perkebunan yang ditelantarkan dan telah habis masa berlakunya ataupun yang cacat hukum ketika izin dikeluarkan. Objek-objek pembaruan agraria sebenarnya dapat mengacu pada UUPA 1960.

Kedua, melibatkan serikat tani yang kukuh memperjuangkan pembaruan agraria dari tingkat local hingga nasional. Dalam pembaruan agraria berlaku sebuah rumusan "tanpa melibatkan negara adalah sebuah kemustahilan, tanpa melibatkan serikat tani akan mengalami kegagalan dalam mencapai tujuan-tujuan pembaruan". Dengan melibatkan serikat tani dalam pelaksanaannya, maka kesalahan dalam menentukan subyek pembaruan agraria dapat dicegah.

Ketiga, program ini adalah bagian penting dari usaha penyelesaian konflik agraria yang menimpa kaum tani. Sehingga, program ini mestilah memprioritaskan tanah-tanah yang selama ini telah dikuasai oleh para petani, atau tengah disengketakan oleh kaum tani.

Keempat, skema pendistribusian obyek pembaruan agraria mestilah diupayakan untuk membentuk koperasi produksi dan badan usaha milik petani. Dengan demikian, pembaruan agraria adalah sebuah upaya membangun sebuah unit usaha bersama milik petani yang kuat di pedesaan. Dengan demikian, selain distribusi, dukungan modal, teknologi dan manajemen pertanian berkelanjutan, pengolahan serta perlindungan pasar adalah usaha yang sinergis dengan program pembaruan agraria.

Kelima, mengingat luasnya keterlibatan sektor-sektor pemerintahan serta membutuhkan pembaruan/pembenahan hukum agraria di dalamnya, program ini mestilah dipimpin langsung oleh presiden dengan cara membentuk sebuah badan pelaksana/otorita yang khusus untuk menjalankan program. Badan ini bekerja dengan tenggat waktu yang jelas untuk menjalankan pembaruan.

Penutup

Untuk dapat membayangkan sebuah model pembaruan agraria, penulis mengajak melihat petani Jawa. Dalam statistik nasional kita dapatkan data bahwa pusat-pusat ketimpangan dan kemiskinan pertanian dan pedesaan sesungguhnya berpusat di Jawa. Bahkan, jauh-jauh hari Clifford Geertz telah menguraikan keadaan yang involutif dalam masyarakat pertanian Jawa.

Dalam mengembangkan sebuah model pembaruan agraria di Jawa, maka terlebih dahulu yang harus ditentukan adalah tanah HGU perkebunan (swasta dan negara) serta tanah hutan produksi milik perhutani (sebenarnya perusahaan ini lebih mirip perkebunan kayu ketimbang hutan) adalah objek pembaruan agraria, barulah dapat meloncat kepada tanah-tanah kelebihan maksimum.

Setelah penentuan ini, maka akan didapat gambaran bahwa tanah-tanah tersebut belum cukup mampu dalam membentuk struktur kapital masyarakat petani dan pedesaan. Selama ini, para petani Jawa menyambung hidup dan memenuhi deret kebutuhan dengan menjual tenaga secara serabutan pada sektor non pertanian ketika masa bekerja di tanah pertanian pada fase tanam dan fase panen telah usai.

Melihat kenyataan ini, salah satu model pembaruan agraria yang diusulkan di Jawa adalah:

•1. Mendistribusikan tanah kepada kelompok/serikat petani dalam skema HGU dalam jangka waktu yang lebih lama dari HGU perusahaan.

•2. Bersamaan dengan itu, dalam kelompok ini mestilah dibentuk usaha peternakan bersama yang modalnya didapatkan dari pemerintah. Peternakan ini dapat menjadi tumpuan dalam menghasilkan pupuk dan pestisida organik sehingga dapat menekan biaya produksi badan usaha.

•3. Dalam kelompok ini juga dibentuk unit usaha pengolah hasil natura pertanian dengan menerapkan teknologi. Model-model pengolahan hasil natura dapat terus dikembangkan sesuai dengan perkembangan teknologi.

•4. Manajemen usaha kelompok ini (peternakan, pertanian dan pengolahan) diatur dalam satu atap.

•5. Dalam usaha pertanian bersama tersebut, tanah tetap dibagi dalam petak-petak. Setiap petak ditanami tanaman pemeliharaan bersama dimana setiap satu petani bertanggung jawab.

•6. Keuntungan dibagi kepada setiap anggota secara transparan sesuai aturan baku manajemen usaha.

Dengan mengembangkan model semacam ini, setidaknya membuka jalan bagi penetrasi teknologi tepat guna bagi masyarakat tani, menghindari pola-pola transmigrasi dan pir-bun, serta memecahkan kelebihan jam kerja kaum tani yang selama ini dialihkan pada kerja-kerja informal di perkotaan.

*) Koordinator advokasi kebijakan pada Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)


Pasted from <file:///D:\KPA%20Sulsel\artikel%20PPAN\sekjen%20KPA%20tentan%20PPAN.doc>



Tidak ada komentar: