Senin, 26 November 2007
29 Agustus 2007
Latar Belakang Kajian dan Penyusunan Kebijakan Pertanahan Pendekatan
Jl. Latuharhari No. 9
Menteng, Jakarta 10310
Telp: (021) 310 1885-7
Fax: (021) 390 2983
Email: lmpdp@cbn.net.id
Rabu, 29 Agustus 2007 09:34:31
Sekilas Membincangkan Program Pembaruan Agraria Nasional
Oleh Iwan Nurdin*)
Pendahuluan
Sebagai sebuah negara dengan potensi agraria yang teramat besar, semestinya hanya panorama keindahanlah yang dapat dapat diceritakan pada alam dan manusia Indonesia di lapangan agraria. Namun, keadaan yang demikian tidak terjadi. Sebab, sampai sekarang, kemiskinan dan pengangguran di Indonesia utamanya adalah sumbangan dari masyarakat pertanian dan pedesaan.
Secara singkat, keadaan ini disebabkan oleh kekeliruan pembangunan selama ini yang tidak menempatkan pembaruan agraria (land reform dan acces reform) sebagai fondasi awal dari proses pembangunan. Meski pada masa awal pembangunan era Soekarno, pembaruan agraria sempat menjadi agenda bangsa, namun telah kita ketahui bersama bahwa program pembaruan agraria akhirnya dipeti-eskan sebelum berhasil dijalankan sepenuhnya pada saat orde baru berkuasa.
Kebijakan pembangunan ekonomi Orba sedikitnya telah menambah persoalan dalam bidang pertanahan. Pertama, di sektor pertanian. Kebijakan pertanahan tidak didasarkan atas penataan aset produksi tetapi langsung diarahkan kepada upaya peningkatan produktivitas melalui revolusi hijau. Hal ini menyebabkan meningkatnya jumlah petani tuna wisma dan mendorong percepatan guremisasi petani. Kedua, pada saat banyak petani kehilangan akses pada tanah, berlangsung pula kebijakan pengalokasian tanah dalam skala besar kepada industri perkebunan dan industri kehutanan. Ketiga, pembangunan industri dan perluasan kota juga telah menimbulkan konversi besar-besaran lahan pertanian, apalagi belum ditaatinya tata ruang dan penataan tanah sebagai acuan pemanfaatan dan penggunaan tanah. Kelima, tumbuhnya kecenderungan menempatkan persoalan tanah dalam kerangka perburuan rente sehingga menjadi ajang permainan spekulasi.
Kelima persoalan ini telah mengakibatkan setidaknya dua hal. Pertama, kesemua proses di atas telah mendorong semakin tingginya kuantitas dan kualitas sengketa pertanahan di tanah air. Kedua, kesemua hal di atas telah mendorong semakin timpangnya pemilikan, penguasaan, dan pengelolaan sumber-sumber agraria khususnya tanah.
Sudah barang tentu, dengan berbagai komplikasi tambahan di atas semakin mengukuhkan argumentasi bahwa pembaruan agraria adalah sebuah agenda yang sangat mendesak untuk dijalankan bagi bangsa ini. Juga, merupakan tantangan bahwa mewujudkan pembaruan agraria pada masa kini tidak lebih mudah dibanding era sebelumnya.
Rezim Pasar Dalam Pembaruan Agraria.
Pasca ditetapkannya Tap. MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, diskursus dan aksi politik yang berelasi dengan isu pembaruan agraria semakin mendapat tempat dalam panggung politik Indonesia. Tapi, kecenderungan ini bukanlah gejala Indonesia semata. Karena, sebenarnya hampir di semua tempat di berbagai belahan dunia yang tengah mengalami proses integrasi kedalam rezim pasar bebas yang intensif, keadaan yang demikian ini selalu terjadi. Jadi, bisa dikatakan, ini adalah gejala internasional.
Jika merunut lebih ke belakang, bahkan sejak tahun 1975, Bank Dunia sebenarnya telah mengeluarkan sebuah dokumen penting yang berjudul Land Reform Policy Paper (LRPP). Dalam dokumen tersebut, Bank Dunia mengakui bahwa program Land Reform adalah sebuah jalan yang penting dalam menggerakkan perekenomian nasional sebuah negara dan dapat mendorong lebih cepat pertumbuhan ekonomi pedesaan.
Namun, mengacu pada situasi pasar politik dewasa itu, dokumen tersebut tidak dijalankan. Sebab, pada masa itu lembaga-lembaga semacam World Bank masih menaruh kepercayaan yang tinggi kepada keberhasilan revolusi hijau di bidang pertanian yang dianggap jauh lebih mudah dan aman secara politik. Di lain sisi, jurus penyesuaian ekonomi domestik kedalam sistem ekonomi pasar internasional (Structural Adjusment Programs-SAPs) dianggap lebih jitu dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Dalam perkembangannya kemudian, kedua program tersebut justru secara nyata terbukti semakin meningkatkan ketergantungan petani kepada para industriawan benih, pupuk dan pestisida. Sementara lahan-lahan pertanian mereka semakin kurus akibat model pertanian semacam ini. Sedangkan, SAPs bisa dengan mudah dibuktikan kegagalannya di banyak tempat.
Bercermin pada dua kegagalan ini, isu tentang pembaruan agraria kembali mendapat tempat yang penting di era 90-an. Bahkan, pembaruan agraria selalu tidak dipisahkan dengan isu-isu pengentasan kemiskinan dunia.
Sistem kredit/hutang kepada para petani yang mendapatkan tanah berdasarkan sebuah pandangan bahwa tanah akan terdistribusi hanya kepada petani yang benar-benar bisa memproduktifkan tanahnya. Padahal, proses ini telah mendorong petani penggarap mendapatkan tanah-tanah dengan harga yang lebih mahal dan tidak/kurang subur. Bukankah akan selalu lebih banyak permintaan (demand) dibandingkan supply tanah. Juga, tanah-tanah yang subur kecil kemungkinan dilepaskan oleh para tuan tanah kepada para petani. Model ini juga juga membahayakan perekonomian nasional secara luas dan jangka panjang, sebab biaya pembelian tanah didapat oleh pemerintah melalui skema hutang dan hutang tersebut diperoleh dengan persyaratan membuka pasar pertanian.
Pembaruan agraria versi pasar juga didasarkan kesimpulan bahwa pembagian tanah kepada rumah tangga petani akan lebih menguntungkan ketimbang kepada serikat tani atau koperasi produksi serikat tani. Pandangan ini didasarkan bahwa pertanian besar yang selama ini dikelola negara dan komune produksi di negara-negara sosialis telah mengalami kegagalan dalam mencapai efisiensi produksi.
Pandangan inilah yang mengkhawatirkan dan sekaligus mendapat perlawanan banyak gerakan sosial dunia. Sebab, pembaruan agraria yang dijalankan adalah sebuah upaya sistematis dalam mengintegrasikan masyarakat pertanian dan pedesaan dalam rezim pasar bebas dalam hal produksi dan keuangan.
Proses pembaruan agraria yang dibimbing pasar ini sama sekali tidak ditujukan sebagai sebuah cara dalam mendorong transformasi sosial melalui lapangan agraria melalui pembentukan modal di pedesaan. Sehingga, pembaruan agraria model pasar sama sekali tidak menyentuh proses perencanaan pembangunan ekonomi desa kota yang saling menguatkan, menumbuhkan industri nasional yang kuat.
Program Pembaruan Agraria Nasional
Lalu, bagaimana dengan pembaruan agraria di Indonesia di tengah situasi nasional dan internasonal yang demikian ini? Kronik agraria mencatat bahwa pada tanggal 16 November 2005, pemerintah mencanangkan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK). Dalam program ini, pemerintah berencana mengalokasikan lahan abadi pertanian seluas 15 juta hektar untuk lahan kering dan 15 juta hektar untuk lahan pertanian basah (irigasi).
Kelanjutan dari program ini, pemerintah berencana melepaskan kawasan hutan seluas 8.15 juta hektar kepada masyarakat (Kompas, 13 Desember 2006). Rencana pemerintah dibingkai dalam sebuah Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Rencana pemerintah ini mendapat apresiasi positif dari berbagai kalangan masyarakat sipil yang memperjuangkan Pembaruan Agraria di Indonesia. Tentu dengan catatan kritis bahwa program ini bukanlah skema pembaruan agraria yang ditentukan oleh pasar.
Jika disejajarkan dengan masa lalu, rencana pemerintah ini tidak dapat dimaknai sebagai pembaruan agraria seperti kerap diucapkan oleh pemerintah. Sebab, pembaruan agraria bukanlah agenda pendistribusian tanah semata, meski ini adalah agenda utamanya. Juga, obyek pembaruan agraria tidak dapat ditentukan dan dibatasi secara sepihak oleh pemerintah (lahan hutan) tanpa melihat keadaan ketimpangan agraria di masing-masing tempat. Dengan demikian, pembaruan agraria mestilah bersifat keseluruhan, nasional dan serentak terhadap sumber-sumber agraria (bukan hanya hutan).
Dengan demikian, beberapa catatan penting yang harus menyertai program ini sehingga berhasil adalah:
Pertama, objek pembaruan agraria mestilah diperluas. Menyatakan hutan semata-mata sebagai objek adalah sikap menutup mata terhadap objek yang lain seperti tanah-tanah HGU perkebunan yang ditelantarkan dan telah habis masa berlakunya ataupun yang cacat hukum ketika izin dikeluarkan. Objek-objek pembaruan agraria sebenarnya dapat mengacu pada UUPA 1960.
Kedua, melibatkan serikat tani yang kukuh memperjuangkan pembaruan agraria dari tingkat local hingga nasional. Dalam pembaruan agraria berlaku sebuah rumusan "tanpa melibatkan negara adalah sebuah kemustahilan, tanpa melibatkan serikat tani akan mengalami kegagalan dalam mencapai tujuan-tujuan pembaruan". Dengan melibatkan serikat tani dalam pelaksanaannya, maka kesalahan dalam menentukan subyek pembaruan agraria dapat dicegah.
Ketiga, program ini adalah bagian penting dari usaha penyelesaian konflik agraria yang menimpa kaum tani. Sehingga, program ini mestilah memprioritaskan tanah-tanah yang selama ini telah dikuasai oleh para petani, atau tengah disengketakan oleh kaum tani.
Keempat, skema pendistribusian obyek pembaruan agraria mestilah diupayakan untuk membentuk koperasi produksi dan badan usaha milik petani. Dengan demikian, pembaruan agraria adalah sebuah upaya membangun sebuah unit usaha bersama milik petani yang kuat di pedesaan. Dengan demikian, selain distribusi, dukungan modal, teknologi dan manajemen pertanian berkelanjutan, pengolahan serta perlindungan pasar adalah usaha yang sinergis dengan program pembaruan agraria.
Kelima, mengingat luasnya keterlibatan sektor-sektor pemerintahan serta membutuhkan pembaruan/pembenahan hukum agraria di dalamnya, program ini mestilah dipimpin langsung oleh presiden dengan cara membentuk sebuah badan pelaksana/otorita yang khusus untuk menjalankan program. Badan ini bekerja dengan tenggat waktu yang jelas untuk menjalankan pembaruan.
Penutup
Untuk dapat membayangkan sebuah model pembaruan agraria, penulis mengajak melihat petani Jawa. Dalam statistik nasional kita dapatkan data bahwa pusat-pusat ketimpangan dan kemiskinan pertanian dan pedesaan sesungguhnya berpusat di Jawa. Bahkan, jauh-jauh hari Clifford Geertz telah menguraikan keadaan yang involutif dalam masyarakat pertanian Jawa.
Dalam mengembangkan sebuah model pembaruan agraria di Jawa, maka terlebih dahulu yang harus ditentukan adalah tanah HGU perkebunan (swasta dan negara) serta tanah hutan produksi milik perhutani (sebenarnya perusahaan ini lebih mirip perkebunan kayu ketimbang hutan) adalah objek pembaruan agraria, barulah dapat meloncat kepada tanah-tanah kelebihan maksimum.
Setelah penentuan ini, maka akan didapat gambaran bahwa tanah-tanah tersebut belum cukup mampu dalam membentuk struktur kapital masyarakat petani dan pedesaan. Selama ini, para petani Jawa menyambung hidup dan memenuhi deret kebutuhan dengan menjual tenaga secara serabutan pada sektor non pertanian ketika masa bekerja di tanah pertanian pada fase tanam dan fase panen telah usai.
Melihat kenyataan ini, salah satu model pembaruan agraria yang diusulkan di Jawa adalah:
•1. Mendistribusikan tanah kepada kelompok/serikat petani dalam skema HGU dalam jangka waktu yang lebih lama dari HGU perusahaan.
•2. Bersamaan dengan itu, dalam kelompok ini mestilah dibentuk usaha peternakan bersama yang modalnya didapatkan dari pemerintah. Peternakan ini dapat menjadi tumpuan dalam menghasilkan pupuk dan pestisida organik sehingga dapat menekan biaya produksi badan usaha.
•3. Dalam kelompok ini juga dibentuk unit usaha pengolah hasil natura pertanian dengan menerapkan teknologi. Model-model pengolahan hasil natura dapat terus dikembangkan sesuai dengan perkembangan teknologi.
•4. Manajemen usaha kelompok ini (peternakan, pertanian dan pengolahan) diatur dalam satu atap.
•5. Dalam usaha pertanian bersama tersebut, tanah tetap dibagi dalam petak-petak. Setiap petak ditanami tanaman pemeliharaan bersama dimana setiap satu petani bertanggung jawab.
•6. Keuntungan dibagi kepada setiap anggota secara transparan sesuai aturan baku manajemen usaha.
Dengan mengembangkan model semacam ini, setidaknya membuka jalan bagi penetrasi teknologi tepat guna bagi masyarakat tani, menghindari pola-pola transmigrasi dan pir-bun, serta memecahkan kelebihan jam kerja kaum tani yang selama ini dialihkan pada kerja-kerja informal di perkotaan.
*) Koordinator advokasi kebijakan pada Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
Pasted from <file:///D:\KPA%20Sulsel\artikel%20PPAN\sekjen%20KPA%20tentan%20PPAN.doc>
28 Nov 2006
Federasi Serikat Petani Indonesia
Pandangan dan Sikap FSPI Tentang Program Pembaruan Agraria Nasional
Tuesday, 28 November 2006
Pernyataan pemerintah Indonesia di media massa bulan September 2006 mengenai rencana pelaksanaan reforma agraria merupakan perkembangan baru dalam politik agraria Indonesia. Pernyataan tersebut sekaligus juga merupakan dampak dari perjuangan panjang kaum tani yang selama ini tiada henti mendesak pemerintah untuk segera melaksanakan pembaruan agraria.
Berkaitan dengan rencana pemerintah tersebut, Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), memandang penting untuk memberikan pandangan dan sikap. Hal ini didasari oleh kenyataan kongkret bahwa penerima manfaat dari pelaksanaan reforma agraria adalah para kaum tani, buruh tani dan rakyat Indonesia. Pandangan dan sikap FSPI ini dihasilkan dari bebeberapa naskah kongres, pandangan dan sikap dasar serta hasil rapat Presidium (pimpinan) FSPI.
FSPI memandang bahwa :
Program Reforma Agraria sebenarnya bukanlah sebuah kebijakan baru di Indonesia. Karena Reforma Agraria telah tertuang sebagai cita-cita dari kemerdekaan nasional demi kesejahteraan, keadilan, kebahagian dan kemakmuran rakyat. Sehingga kemudian diwujudkan dalam UUPA 1960 termasuk beberapa program nasionalisasi terhadap kekayaan alam dan sumber agraria lainnya yang selama masa kolonialis dikuasai oleh penjajah.
Dengan demikian sejak di undangkannya UUPA 1960 , sebenarnya bangsa Indonesia telah mempunyai Hukum Agraria yang sifatnya nasional. Adapun isinya menegaskan bahwa fungsi dari sumber agraria yaitu bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di atas dan didalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.
Beberapa pokok pikiran penting dari UUPA adalah ditujukan untuk:
meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagian, dan keadilan bagi Rakyat dan negara, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat adil dan makmur
meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Sayangnya, dalam prakteknya program Reforma Agraria sebagai salah satu kewajiban pemerintah, selama ini belum pernah secara sungguh-sungguh dijalankan sesuai dengan amanat UUPA 1960 dan UUD 1945 pasal 33. Alih-alih menjalankan UUPA, bahkan pemerintah telah menyelewengkannya melalui penerbitan berbagai peraturan dan undang-undang yang justru bertolak belakang.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, hak penguasaan, kepemilikan, pengelolaan dan penggunaan agraria telah digunakan untuk mengeksploitasi hutan, pertambangan, perkebunan, dan konversi lahan pertanian ke lahan industri, kelautan dan pesisir utuk kepentingan pemilik modal besar. Berbagai perundang- undangan sektoral, seperti UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing, UU No.5/1967 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, UU No. 11/1967 tentang ketentuan Pokok Pertambangan, UU tentang ketentuan-ketentuan pokok pengairan, serta berbagai UU sektoral lainnya, bahkan secara prinsipil bertentangan dengan UUPA 1960.
Sayangnya kejatuhan rezim orde baru, belum bisa menghentikan ketidakadilan struktural penguasaan dan pemilikan agraria. Bahkan kemunculan perundang-undangan seperti Keppres 34/2003, Perpres 36/2005 dan revisinya Perpres 65/2006, UU No. 7/2004 tentang Sumber daya Air, UU No. 18/2004 tentang Perkebunan, Undang-Undang Pertambangan, UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Migas dan undang-undang lainnya bercorak melanggengkan ketidakadilan agraria.
Bahkan secara garis besar produk-produk kebijakan pemerintah "reformasi" tersebut telah menjalankan prinsip-prinsip dasar neoliberalisme melalui campur tangan secara langsung maupun tidak langsung dari lembaga-lembaga keuangan internasional seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan World Trade Organization (WTO). Lembaga keuangan internasional tersebut mempunyai peran sentral dalam menentukan arah dan strategi pembangunan dan kebijakan ekonomi politik di Indonesia.
FSPI memandang, bahwa akibat praktek kebijakan politik dan ekonomi yang bercorak neoliberal ketidakadilan dan ketimpangan struktur agraria semakin melebar. Sebagai contoh: penguasaan atas perkebunan, kehutanan, pertambangan saat ini didominasi oleh segelintir individu dan perusahaan-perusahaan besar nasional dan asing seperti PT. NewMont, PT. Freeport, PT. CALTEX, PT. London Sumatra dan lainnya yang luasannya hingga jutaan hektar.
Sementara sebagian besar rakyat tani hanya menguasai 0,3 ha pada lahan pertanian bahkan tak bertanah. Pajak maupun keuntungan atas bagi hasil yang diterima negara dari lahan-lahan perkebunan, kehutanan, kelautan, pertambangan dirasakan tak sesuai dengan keuntungan yang diraih oleh perusahaan-perusahaan asing tersebut yang sudah puluhan tahun mengekploitasi sumber-sumber agraria. Apalagi jika di hitung menurunnya kualitas layanan alam, dampak sosial, ekonomi dan politiknya terhadap bangsa Indonesia.
Situasi yang penuh ketidakadilan tersebut telah mendorong pada munculnya ribuan konflik-konflik yang bersandar pada perebutan penguasaan, pengelolaan, pemanfaatan dan kepemilikan atas sumber-sumber agraria, baik yang sifatnya vertikal, horizontal maupun gabungan keduanya. Secara umum konflik yang terjadi didominasi oleh konflik antara rakyat dengan Perusahaan swasta baik asing maupun dalam negeri, rakyat dengan pemerintah dan rakyat dengan institusi negara. Dimana wilayah konflik itu berada pada lahan pertanian, perkebunan, kehutanan, pertambangan, perairan/kelautan dan urban/perkotaan.
Ketidakadilan agraria juga telah mendorong tingginya tingkat urbanisasi dari desa ke kota, tinginya jumlah buruh migran, meningkatnya petani yang tidak memiliki lahan pertanian, kerusakan dan pencemaran lingkungan yang disertai dengan bencana alam, kasus kelaparan/busung lapar, tingginya tingkat pengangguran dipedesaan maupun di perkotaan.
STRUKTUR AGRARIA YANG DI INGINKAN OLEH PETANI DAN RAKYAT
FSPI memandang bahwa sesuai dengan isi dan kandungan dalam UUPA 1960, hal-hal yang perlu diatur dalam agraria meliputi seluruh bumi, air, dan ruang angkasa serta seluruh kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawah-nya serta yang berada di bawah air. Kesemuanya tersebut merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan. Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa, termasuk kekayaan alam di dalamnya adalah hubungan yang bersifat abadi.
Paling penting untuk ditegaskan bahwa pembaruan agraria yang diinginkan oleh kaum tani adalah Pembaruan Agraria Sejati yaitu adanya upaya membongkar dan menata ulang struktur agraria yang timpang, eksploitasi manusia atas manusia, menuju tatanan baru dengan struktur yang bersendi kepada keadilan agraria. Sehinga program pembaruan agraria nasional yang hendak dijalankan oleh pemerintah haruslah suatu pembaruan agraria sejati.
Yang dimaksud keadilan agraria itu adalah suatu keadaan dimana dijamin tidak adanya konsentrasi dalam penguasaan dan pemanfaatan atas sumber-sumber agraria pada segelintir orang. Keadilan agraria juga merupakan perwujudan kemerdekaan Bangsa Indonesia atas tanah airnya secara substansial. Yang dimaksud dengan menata ulang struktur agraria adalah penataan kembali atau membongkar struktur kepemilikan, penguasaan, pengalokasian, penggunaan, dan pengolahan yang berhubungan dengan sumber agraria dan kekayaan alam; bumi, air, dan ruang angkasa serta seluruh kekayaan yang terkandung didalamnya.
Pembaruan agraria selanjutnya diharapkan dapat menciptakan proses perombakan dan pembangunan kembali struktur sosial masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan, sehingga terciptanya sistem kesejahteraan sosial dan jaminan sosial bagi rakyat miskin, kaum tani, serta penggunaan kekayaan alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Struktur agraria yang berkeadilan seperti keinginan petani dan rakyat miskin mengandung nilai-nilai dan prinsip, seperti :
tidak adanya konsentrasi kepemilikan dan penguasaan agraria pada segelintir orang saja, yang ditandai dengan adanya aturan tentang batas minimal dan batas maksimal
tidak adanya monopoli dalam produksi dan distribusi produksi
adanya jaminan terhadap hukum, penguasaan dan kepemilikan sumber agraria bagi petani kecil, buruh tani dan rakyat miskin lainnya
adanya jaminan bahwa usaha-usaha yang dilakukan dalam lapangan agraria haruslah memajukan kemakmuran dan martabat manusia
PROGRAM UMUM REFORMA AGRARIA
FSPI memandang bahwa agar pelaksanaan pembaruan agraria dapat memenuhi rasa keadilan maka pembaruan agraria harus dapat menyelesaikan semua konflik dan sengketa agraria yang telah terjadi dari masa lalu dan yang terjadi saat ini. Sementara untuk menjaga agar konflik agraria berlarut-larut di masa mendatang, maka pemerintah haruslah ada upaya untuk menciptakan peraturan yang tidak memberikan peluang terjadinya konflik agraria.
Penataan struktur agraria yang berhubungan disektor pertanian dan kaum tani haruslah dimulai dari pelaksanaan program Landreform yaitu suatu upaya yang mencakup pemecahan dan penggabungan satuan-satuan usaha tani, dan perubahan skala pemilikan. Kemudian dilanjutkan dengan peningkatan kemampuan petani dengan berbagai program-program pendidikan, upaya penyediaan subsidi, pemilikan teknologi pertanian, sistem distribusi/perdagangan yang adil, dan mendorong tumbuhnya organisasi-organisasi massa petani dan koperasi petani, serta infrastruktur lainnya.
Sementara penataan struktur agraria yang berhubungan dengan pemanfataan di luar usaha-usaha pertanian pangan seperti perairan, pertambangan, kehutanan, perkebunan, pariwisata, dan pemanfaatn lain haruslah dilakukan dengan peninjauan kembali, termasuk pembatalan berbagai kontrak karya atau kontrak pertambangan oleh perusahaan-perusahaan asing, izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) atau Hutan Tanaman Industri (HTI), izin atas eksplorasi sumber-sumber air alam yang dikuasai perusahaan-perusahaan, pencabutan izin HGU, izin ekplorasi perikanan dan lainnya di wilayah kelautan, menetapkan penguasaan penuh atas wilayah udara atau ruang angkasa RI.
FSPI memandang bahwa pelaksanaan reforma agraria menuntut penyusunan undang-undang baru yang merupakan turunan dari UUPA 1960, sehingga selain tidak melanggar struktur peruntukan, penguasaan, pemanfaatn, dan pengolahan tentang agraria, harus ada jaminan keberlanjutan dan kelestarian agraria tersebut.
Dengan demikian langkah-langkah yang harus ditempuh oleh penyelenggara negara dalam menjalankan pembaruan agraria tersebut adalah:
Menjalankan reforma agraria haruslah sesuai dengan prinsip dan semangat dari jiwa UUPA 1960, yang dilaksanakan secara murni dan konsekwen.
Pembatalan atau pencabutan terhadap seluruh produk undang-undang dan peraturan yang berkaitan dengan agraria, termasuk penghentian pembahasan RUU Penanaman Modal. Pembatalan atau pencabutan seluruh undang-undang dan peraturan yang berkaitan dengan agraria tersebut haruslah diikuti pula pembuatan undang-undang dan peraturan yang merupakan turunan dari UUPA 1960, sehingga tidak menjadi undang-undang dan peraturan yang sektoral dan tumpang tindih.
Untuk penyederhanaan dalam pelaksanaannya sehingga tidak terjadi tumpang tindih, maka departemen yang berkaitan dengan agraria haruslah dalam satu koordinasi, yang memiliki otoritas.
Dalam rangka membangun rasa keadilan bagi petani dan rakyat lainya yang mengalami konflik agraria yang belum belum diselesaikan sampai saat ini, yakni dari masa kolonial hingga sekarang haruslah diselesaikan karena ini merupakan bagian dari pelaksanaan pembaruan agraria. Penyelesaian konflik agraria yang belum selesai dari masa kolonial hingga saat ini haruslah di tempuh dengan langkah-langkah :
Menginventarisir seluruh konflik-konflik agraria yang belum diselesaikan dari masa kolonial hingga sekarang.
Merumuskan mekanisme penyelesaian konflik secara sistematis, terencana dan menyeluruh serta bersendikan kepada rakyat yang menjadi korban dari konflik tersebut.
Mengembalikan hak tersebut baik dalam bentuk agraria yakni lahan semula, mengganti lahan atau melalui mekanisme ganti rugi dengan mempertimbangkan rasa keadilan rakyat yang menjadi korban dari konflik agraria tersebut.
Bagi pelaku yang menyebabkan terjadinya konflik agraria baik secara langsung atau tidak langsung harus pula diajukan ke pengadilan yang berdimensikan HAM, karena pada dasarnya konflik agraria tersebut adalah pelanggaran terhadap HAM.
Pengakuan secara hukum mengenai kepemilikan dan penguasaan terhadap tanah-tanah obyek Land Reform atau tanah-tanah yang berkonflik atau dipersengketakan petani yang saat ini telah dikuasai petani.
Selanjutnya terhadap kebijakan yang sudah terlanjur dikeluarkan, seperti pemberian hak terhadap perorangan, pemilik usaha maupun bentuk organisasi lainya yang berpeluang menimbulkan konflik agraria haruslah ditinjau dan dievaluasi kembali, sehingga tidak terulang munculnya konflik agraria.
PERAN ORGANISASI PETANI
Organisasi massa perjuangan petani yang merupakan kumpulan dari petani kecil, buruh tani, tani miskin dan masyarakat lainnya adalah organisasi yang sangat berkepentingan terhadap dilaksanakannya pembaruan agraria. Hal ini terlihat dari besarnya tuntutan petani terhadap pelaksanaan pembaruan agraria. Tuntutan pelaksanaan pembaruan agraria tidak terlepas dari kebutuhan agraria sebagai bagian dari budaya dan simbol dari martabat sebagai petani dan manusia. Harus pula dipahami bahwa tuntutan itu tidak hanya didasari oleh kebutuhan untuk kesejahteraan dan sebagian dari budaya dan martabat, tapi juga disebabkan oleh dirampasnya hak-hak rakyat tani atas agraria, seperti yang terjadi selama ini.
Agar dapat tertatanya struktur agraria yang mengadung nilai-nilai keadilan agraria, sehingga memberikan jaminan perlindungaan dan pemenuhan Hak Asasi kaum tani dan kalangan rakyat miskin lainnya, maka organisasi petani harus memiliki peran yang jelas dalam pembaruan agraria tersebut. Oleh karena itu haruslah menempatkan organisasi kaum tani tani atau rakyat miskin lainnya mulai dari tingkat lokal hingga nasional sebagai perencana, pelaksana dan evaluasi serta peran kontrol terhadap pelaksanaan pembaruan agraria tersebut.
Demikianlah pandangan kami
Badan Pelaksana Federasi (BPF)
Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI)
Henry Saragih
Sekretaris Jenderal
Perjuangan Pembaruan Agraria Sejati
Pasted from <file:///D:\KPA%20Sulsel\artikel%20PPAN\FSPI%20tentang%20PPAN.doc>